“Kamu berdoa
saja, Veronica. Jika kakak tidak kembali, setidaknya ia menemukan apa yang ia
cari di luar sana,”
“Ia tidak akan menemukan apa-apa
yah. Yang kakak mau hanya persetujuan dari kita bahwa Tuhan tidak ada. Itu
saja,” aku menjawab sambil menikmati sarapanku. Sebenernya aku tidak berselera
sama sekali. Apalagi ayah juga tidak menyentuh sarapan yang aku siapkan untuknya.
“Aku hanya ingin kakak tahu, bahwa Tuhan tetap mengasihinya apapun yang terjadi
dan menimpa dirinya. Dia perlu menyadari itu,”
Ayah membisu. Ia bahkan tidak
menatapku.
***
Aku tidak senang dengan
ketidaksetujuan ayah. Jelas dia bisa berkata begitu. Dia kan tidak merasakan
apa yang aku rasakan. Dasar orang tua tidak tahu diri. Memangnya harus dia yang
selalu benar. Aku merogoh saku celanaku, mengambil telepon genggam hadiah dari
suamiku. Di layarnya terlihat fotoku dan dia. Aku meneteskan air mata di tengah
keramaian pinggir jalan Jakarta. Yah, aku sebenarnya tidak tahu mau menuju
kemana. Aku saja tidak tahu aku sekarang ada dimana.
“Aku harus kemana?” aku bertanya
kepada foto suamiku. Layar telepon genggamku basah oleh air mata. Aku menatap
jalan di hadapanku. Aku tahu harus kemana. Aku melangkahkan kakiku mantap.
Aku menuju rumah seorang teman.
Sosok yang aku kenal dengan nama Lauren. Ia seorang yang cukup religius. Tapi
aku datang kepadanya bukan untuk berdebat soal ada tidaknya Tuhan. Karena
untukku, dia tak ada. Titik.
Perjalananku cukup melelahkan menuju
rumah Lauren di daerah Jakarta Selatan. Sempat kesulitan, tapi akhirnya aku
sampai di depan rumah Lauren.
“Lauren!” dan dengan sekali teriak,
pintu rumah terbuka dan terlihat Lauren tersenyum menyambut kedatanganku. Rupanya dia sudah menunggu aku dari tadi.
“Hai, Theresia! Lama tidak berjumpa.
Masuk aja!”
Gerbangnya
tidak terkunci. Aku langsung masuk saja ke dalam rumahnya. Suasana rumah Lauren
nyaman sekali. Dan dia tinggal sendirian disini. Jadi akan tidak mengganggu
kalau aku menginap agak lama.
“Hmm, There, aku turut berduka ya
untuk suamimu. Pasti berat ya buatmu menerima semua ini. Tapi kamu tenang saja,
Tuhan akan memberikan kekuatan buat kamu untuk mulai lagi dari awal,” Lauren
berkata dengan lembut. Namun kalimat itu menamparku keras. Aku sudah benci
dengan dia yang disebut-sebut oleh mereka.
“Kamu bicara tentang siapa?”
“Maksudmu apa There?” Lauren
kebingungan. Jelas, dia belum tahu kebencian yang tumbuh di hatiku.
“Aku hanya benci. Benci bahwa disaat
aku seterpuruk ini aku tetap harus percaya bahwa Tuhan itu ada,” aku meraih
koperku, berjalan menuju kamar di lantai dua. Meninggalkan Lauren ternganga
kebingungan di ruang tamu.
Aku merenung di kamar. Kembali
menangis untuk kesekian kalinya. Sebenarnya mataku ini lelah. Apa respon Lauren
besok ya? Apakah dia akan ikut membenci aku seperti ayah, ibu dan Veronica?
Apakah akan terjadi perdebatan antara aku dan Lauren? Ah, sudahlah, lihat besok
pagi saja. Tubuhku kelewat letih karena perjalanan hari ini. Aku merebahkan
badanku dan mataku tertuju pada lukisan Tuhan yang sedang memeluk seorang anak
kecil yang menangis.
“Cih..” hanya itu yang keluar dari
mulutku. Aku langsung tidur, tidak memerdulikan lukisan itu.
Sudah seminggu lebih aku di rumah Lauren. Sejauh ini Lauren tidak
membicarakan tentang kata-kataku waktu itu. Tapi aku sadar, dia merasa ada yang
janggal. Karena sehari setelah kejadian itu, ia meletakkan sebuah Alkitab dan
buku renungan di kamarku. Ah, percuma Lauren, tak akan aku sentuh. Aku
meneguhkan pendirianku. Dan sebulan pun berlalu.
“There, aku sampai detik ini tidak mengerti kenapa kamu tiba-tiba
datang ke rumahku. Kenapa kamu tidak pernah mau menjelaskan?”
“Nanti kamu akan tau sendiri, Ren.”
“Aku ingin tau sekarang!” nadanya meninggi. “Aku tahu kamu tidak
menyentuh Alkitab dan renungan yang aku letakkan di kamarmu kan? Kenapa kamu?
Bukannya kamu itu anak Tuhan yang taat, There?”
“Kamu sudah mendengar pernyataanku saat aku baru sampai disini
kan? Itulah kesimpulan dari segala cerita panjang yang aku alami,” aku dengan
tenang menjawabnya
“Oh, jadi ini. Jelas sekarang. Kamu mau mencoba lari dari Tuhan.
Iya, There?!” nadanya kasar sekarang. Aku menghela napas.
“Mungkin. Aku lelah dengan semua ini Lauren. Kesakitan demi
kesakitan aku alami tanpa ada penghiburan dari siapa itu? Tuhan?”
“Tuhan akan bertindak Theresia. Kamu hanya perlu sabar menunggu,”
Lauren menghilang menuju kamarnya.
Hari-hari berlalu. Setiap bulan, Lauren dengan setia mengganti
buku renungan di kamarku. Meski tak pernah aku sentuh. Besok hari ulang
tahunku. Dengan keadaan seperti ini, hal sebahagia apapun akan jadi sampah
buatku. Aku tidak perduli dengan segala ucapan yang terlampau cepat di kotak
pesan telepon genggamku. Atau di halaman facebook dan twitterku.
“There, besok kamu ulang tahun kan? Kamu tidak mau pulang ke
rumah? Orang tuamu pasti khawatir,”
“Oh kamu sudah tidak senang dengan keberadaanku disini?”
“Sejak kapan kamu jadi begitu negatif, Re? Aku hanya bertanya
kan,”
“Iya, iya. Aku tidak mau pulang. Aku belum siap,” aku menjawab
sekenanya. Lauren diam sejenak.
“Hmm, kalau begitu, kamu mau hadiah apa? Kalau aku mampu akan aku
belikan untukmu,” nada bicaranya sudah ceria lagi. Ya, dia merubah perasaannya
dengan sangat cepat.
“Tidak perlu, aku tidak mau merepotkan,”
“There, There. Tunggu saja kejutanku besok ya,”
Keesokan paginya, seperti biasa aku bangun dan langsung mandi.
Keadaan rumah Lauren biasa saja. Tidak ada apa-apa. Baguslah, berarti kemarin
Lauren hanya bercanda. Namun ternyata dugaanku salah. Ada kotak hadiah di
kamarku. Kotak berwarna putih dengan pita warna perak. Dan bunga mawar putih di
atasnya. Hatiku disergap rasa penasaran. Langsung saja aku meraih kotak itu dan
membukanya.
“Hmm, mawarnya segar. Ini pasti baru dipetik. Pintar juga Lauren.
Dia tahu bunga kesukaanku,” aku bergumam. Setelah kubuka kotaknya, rasa heranku
muncul melihat sebuah tape recorder dengan sebuah kaset di dalamnya. Tanpa
piker panjang, aku langsung menyalakan tape recorder itu.
“Selamat
pagi Theresia sayang. Selamat ulang tahun untuk anak perempuan ayah dan ibu
yang cantik. Ibu senang kamu masih sehat dan senang. Lauren memberitahu kami
tentang keadaanmu. Theresia, Ibu sangat rindu padamu,nak. Rumah sangat sepi
tanpa kamu. Kalau kamu sudah cukup tenang, pulanglah ke rumah. Kami selalu
menanti kembalinya kamu. Kami sayang padamu.”
Oh, Ibu, gumamku. Lalu aku melanjutkan rekaman itu. Kali ini
Veronica.
“Selamat
ulang tahun kakakku tersayang. Aku harap kakak sehat-sehat saja disana. Aku
senang kakak tinggal bersama Kak Lauren. Aku senang mengetahui bahwa kakak aman
disana. Kak, semarah apapun ayah kepada kakak. Ia selalu menantimu pulang, Ka.
Percayalah.”
Sekarang pasti ayah.
“Theresia.
Anak ayah yang pertama. Yang selalu ayah banggakan. Dengarkan ini, nak. Apabila orang-orang benar itu berseru-seru,
maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu
dekat dengan orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang
remuk jiwanya. Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari
semuanya itu; Ia melindungi segala tulangnya, tidak satupun yang patah. TUHAN
membebaskan jiwa hamba-hambaNya, dan semua orang yang berlindung padaNya tidak
akan menanggung hukuman. Selamat ulang tahun, sayang. Ayah selalu
menyayangimu. Pulanglah sayang, ayah menantimu.”
Air mataku menetes lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Aku
terisak, aku menangis sesenggukan. Tuhan, aku ingin kembali Tuhan. Aku ingin
kembali padaMu. Aku tidak sanggup tanpa Engkau, Tuhan. Aku kelelahan menangis.
Sampai akhirnya hanya rasa sedih yang keluar. Aku sudah tidak mampu menangis
lagi. Pintu kamarku terbuka, terlihat Lauren menyunggingkan senyum lembutnya.
Ia lalu menghampiriku.
“Aku ingin pulang, Lauren,”
Lauren tersenyum lagi, “Aku akan
mengantarmu. Bereskan dulu barang-barangmu. Aku tunggu di ruang tamu.”
20 menit kemudian aku telah siap.
Untung saja tidak terlalu banyak barang yang aku bawa.
“Ayo, Lauren. Aku sudah siap,”
“Oke, kita berangkat.”
Sepanjang perjalanan aku diam saja.
Aku sudah rindu dengan ayahku. Dengan ibu dan Veronica. Dengan wangi mawar
putih setiap pagi di halaman depan rumah.
Sekitar 3 jam perjalanan dengan
segala macet disana-sini, akhirnya aku sampai ke daerah rumahku. Setengah jam
lagi aku akan sampai.
Dan akhirnya sampai di depan rumah
berwarna merah muda pucat. Aku sudah sampai.
“Kamu langsung masuk saja ya There.
Aku langsung pulang,”
“Loh, kenapa?”
“Tidak apa-apa. Sudah, aku pulang
dulu ya There. Tuhan memberkati,” Lauren memelukku dan masuk lagi ke mobilnya.
Aku buru-buru masuk ke halaman rumah. Namun ada sedikit keraguan dalam hatiku
ketika aku harus membuka pintu rumah ini. Aku takut. Aku takut tidak diterima
lagi.
“Kakaaaaaaaaaaaak!!!” teriakan khas
Veronica. Ia melompat dan memelukku. Aku nyaris terjatuh. Anak ini tidak juga
berubah. “Akhirnya kakak pulang. Ibuuuuu, ayaaaaah, kakak pulang!!”
Hamburan pelukan bertubi-tubi
menghampiriku. Mereka sama sekali tidak terlihat membenciku. Terima kasih,
Tuhan. Tanpa aku duga, mereka merapikan semua barangku. Veronica mengantarku ke
kamarku yang ternyata masih rapi. Tidak berdebu, bersih. Disuruhnya aku
membersihkan diri sebelum makan bersama di ruang makan
“Aku senang kakak kembali. Aku
kangen sama kakak,” Veronica tertawa
sambil menghabiskan makanannya.
“Ibu juga bahagia. Ibu merasa luar
biasa sedih saat kamu pergi There. Ibu bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Aku hanya menyunggingkan senyum.
“Ayah, aku tahu aku tidak pantas
kembali..”
“Kasih sayang Tuhan yang memantaskan
kamu untuk kembali kepadaNya, Theresia. Dia yang begitu besar kasihnya kepada
kita. Tidak pernah mau melukai kita. Itu hanyalah cara Tuhan menunjukkan bahwa
Ia mengasihimu lebih dari apapun. Ia tidak ingin kamu beralih dariNya. Ia ingin
kamu tetap percaya dan bersandar lebih dekat padaNya ketika beban berat
menghimpitmu. Ia ingin mengajarkanmu tentang betapa besar kamu membutuhkanNya.
Theresia, Tuhan tidak pernah menolak jika ada hambaNya yang ingin kembali. Ia
tak hanya member kesempatan kedua, tapi terus hingga kamu benar-benar bersih.
Ia tak pernah lelah memperbaharui imanmu yang runtuh. Ia akan menunjukkan
jalanNya yang indah padamu untuk membangun kembali iman itu. Ia sungguh amat
baik, Theresia. Ia Bapa yang amat baik,”
Aku sadar, aku memang harus
mengalami semua sakit ini. Aku harus mengalami masa dimana aku benar ingin
menjauhi Tuhan. Untuk sebuah tujuan yang indah. Agar aku tahu, betapa
berbedanya hidupku dengan dan tanpa Tuhan. Dan sekarang aku sadar. Kebencian
yang aku bangun untuk keluarga dan Tuhanku waktu itu adalah hal bodoh. Apa
sulitnya tetap berpegang teguh pada Tuhan? Satu-satunya sumber kekuatan dan
pengharapan hidupku. Ketika aku menjauh, malah aku semakin hancur dan tak jelas
mau berbuat apa. Terima kasih,Tuhan. Terima kasih, karena panggilanmu begitu
jelas terdengar. Panggilan yang lembut dan dekat. Aku kembali Tuhan, aku
kembali.
sorry for the awful arrangement of the text. i copied it from ms.word and this is the result. i've tried to fix it but it was useless. i am too lazy to retype it right in the composing section. if anybody can tell me how to quickly fix it, just the hell, tell me. thanks lol
No comments:
Post a Comment