Tak kunjung
sampai pemahamanku meraih cara pikir kakak perempuanku ini. Entah apa yang ada
di pikirannya sampai Ia berani menyangkal kepercayaannya sendiri. Ia begitu
menolak kata-kata ayah dan ibu yang sudah berusaha meyakinkannya untuk tetap
berada di jalan yang benar.
Aku dan kakakku tumbuh dengan
pemahaman Kristen. Ayah dan ibu lahir dari keluarga Kristen Protestan yang
taat. Kami sudah mengenal Tuhan sejak kami kecil. Orang tua kami rajin mengantar
kami ke Sekolah Minggu setiap akhir pekan, agar kami dapat lebih dalam mengenal
Tuhan. Sampai akhirnya kami dewasa dan mengaktifkan diri di kegiatan-kegiatan
gerejawi.
Namun, kejadian yang menimpa kakak
setahun belakangan ini sepertinya berhasil meruntuhkan imannya. Bertubi-tubi
rasa sakit dan luka menghampirinya. Dimulai ketika Ia
harus di PHK karena kantor tempat Ia bekerja mengalami kebangkrutan. Diikuti
dengan gugurnya kandungan kakak. Ia amat sangat terpukul dengan hal ini. Dan
terakhir, suami kakak meninggal pada kecelakaan pesawat 2 minggu yang lalu.
“Mana Tuhan?! Dimana Dia saat aku
kini terpuruk?!!,” kakak berteriak penuh emosi. Air matanya jatuh tanpa henti.
“Aku tak mengerti mengapa setelah sekian kejadian yang menimpaku, aku tetap
harus percaya bahwa Dia ada?.”
“Theresia!! Jaga bicaramu itu. Sudah
berapa kali ayah bilang. Tuhan punya rencana yang indah dibalik semua ini. Kamu
harus yakin akan hal itu,” Ayah menahan emosinya yang sedari tadi meluap-luap.
“Rencana indah macam apa yang mau
tuhan itu buat, Yah!?,” bicaranya tersendat oleh isak tangis. “Aku kehilangan
segalanya, Ayah. Untuk apa lagi aku percaya!”
Aku memandang wajah kakak, memerah
dan terlihat ia sangat terluka dengan semua kejadian yang menimpanya. Kudengar
sesekali isak tangisnya yang tak kunjung henti. Sedih memang, tapi aku merasa
kakak terlalu berlebihan.
“Kak..” Aku memberanikan diri untuk
berbicara. Kakak menoleh ke arahku. “Aku mengerti ini suatu pukulan yang keras
buat kakak. Tapi satu hal yang harus kakak tahu, Tuhan tidak akan memberikan
cobaan yang tak mampu kakak hadapi. Ayah benar, Tuhan punya rencana yang luar
biasa indah untuk kakak. Kakak pasti menyangkalnya, karena kakak melihat semua
ini dari sudut pandang kakak. Tapi, Kak, cara Tuhan berbeda dengan cara kita.
Tuhan memandang dari sisi yang berbeda. Yang tak akan mampu dimengerti oleh
manusia. Tak akan terjawab oleh pertanyaan, mengapa?” Aku melihat Ibu
mengangguk sambil merangkul kakak. Berusaha menenangkannya.
“Aku sudah tidak peduli lagi pada
apa yang kalian katakan. Kalian semua penipu! Aku mau keluar dari rumah ini!”
Kami semua terkejut mendengar keputusan kakak. Memang semenjak kakak ditinggal
oleh suaminya, kami mengajak kakak kembali lagi ke rumah keluarga. Mendengar
keinginan kakak yang sembrono itu Ayah marah besar.
“Oh begitu. Jadi kamu mau keluar?!
Silahkan! Keluar kamu dari rumah ini. Cari apa yang kamu mau temukan. Ayah
tidak peduli lagi!” emosi Ayah sudah mencapai puncaknya. Ayah beranjak dari
sofa ruang keluarga, menuju kamarnya. Terdengar bantingan pintu yang keras.
Ayah sudah terlalu sabar menghadapi kakak.
“Baik! There keluar dari rumah malam
ini juga!,” kakak berteriak menghadapkan wajahnya ke lantai atas. Seolah
menjawab makian Ayah tadi.
“There, apa yang kamu katakan, Nak.
Kamu tidak boleh keluar dari rumah ini!” Ibu berusaha menahan kakak. Tapi
tekadnya sudah kuat. Ia bergegas menuju kamarnya dan mengemas baju seadanya. Langsung
menghambur ke luar rumah.
“Sudahlah,Bu. Tidak perlu
berpura-pura sedih aku pergi dari rumah ini. Aku sudah muak melihat sandiwara
ibu selama ini. Aku tahu aku tak pernah berharga kan buat Ibu?!” Kakak
membentak Ibu. Dan hal ini yang membuat emosiku memuncak. Ayah dan Ibu sangat
sayang kepada Kakak. Tapi mengapa kakak begitu mengeraskan hatinya?
“Cukup!” teriakanku menghentikan
tangis ibu sejenak. Kakak cukup kaget. Aku belum pernah berkata dengan nada
setinggi ini. “Aku sudah tidak kuat lagi melihat tingkah kakak yang
semena-mena. Tidak tahu sopan santun. Menuduh kami penipu dan bertingkah seolah
kakak muak terhadap kami. Asal kakak tahu, kami yang muak terhadap tingkah
kakak selama ini. Berkeras hati dan memaki kami setiap hari. Jika kakak benar
ingin keluar, keluar saja sana. Aku tidak sudi punya kakak seperti kamu!”
segera setelah aku menyelesaikan perkataanku, kutarik lengan Ibu, memaksanya
masuk ke dalam rumah. Aku tak terima ayah dan ibuku diperlakukan seperti itu.
Kakak macam apa dia?
Aku menenangkan Ibu dan menyuruhnya
masuk kamar. Aku pun kembali ke kamarku. Berlari ke arah jendela. Aku ingin
tahu apakah kakak benar-benar pergi. Tirai jendela warna hijau lembayung itu ku
singkap sedikit. Kakak sudah memulai langkahnya untuk pergi dari rumah ini.
Kupandangi dia sampai akhirnya tikungan di ujung gang menghalangi sepasang bola
mataku untuk menyaksikan kepergiannya. Tidak terasa, mata dan pipiku basah. Aku
sangat menyayanginya. Theresia, begitu orang-orang rumah ini memanggil namanya.
Aku sungguh menyesal telah ikut mendukung kepergian kakak. Tapi di sisi lain
aku tak kuat kalau harus mendengar argumen Kakak dengan Ayah. Tapi aku yakin,
suatu saat kakak akan kembali dengan hati yang sudah Tuhan lembutkan.
Pagi ini, rumah tenang. Tidak
seperti biasa ketika kakak masih tinggal disini. Aku merasakan kembali
ketenangan yang beberapa hari lalu sempat terenggut. Namun, setelah aku telaah
lebih jauh. Ini bukan ketenangan. Ini kesedihan. Ayah sepertinya sama
menyesalnya dengan aku, atau mungkin Ia jauh lebih menyesal. Ibu masih di
kamar. Kata Ayah, Ia masih tidak sanggup menerima kenyataan kakak pergi dari
rumah. Ia menyesal tidak menahan kakak sekuat tenaganya supaya kakak tidak
pergi. Seisi rumah berlumuran dengan berjuta penyesalan tiada akhir.
No comments:
Post a Comment