10.13.2011

Faith - 2


“Kamu berdoa saja, Veronica. Jika kakak tidak kembali, setidaknya ia menemukan apa yang ia cari di luar sana,”
            “Ia tidak akan menemukan apa-apa yah. Yang kakak mau hanya persetujuan dari kita bahwa Tuhan tidak ada. Itu saja,” aku menjawab sambil menikmati sarapanku. Sebenernya aku tidak berselera sama sekali. Apalagi ayah juga tidak menyentuh sarapan yang aku siapkan untuknya. “Aku hanya ingin kakak tahu, bahwa Tuhan tetap mengasihinya apapun yang terjadi dan menimpa dirinya. Dia perlu menyadari itu,”
            Ayah membisu. Ia bahkan tidak menatapku.
***
            Aku tidak senang dengan ketidaksetujuan ayah. Jelas dia bisa berkata begitu. Dia kan tidak merasakan apa yang aku rasakan. Dasar orang tua tidak tahu diri. Memangnya harus dia yang selalu benar. Aku merogoh saku celanaku, mengambil telepon genggam hadiah dari suamiku. Di layarnya terlihat fotoku dan dia. Aku meneteskan air mata di tengah keramaian pinggir jalan Jakarta. Yah, aku sebenarnya tidak tahu mau menuju kemana. Aku saja tidak tahu aku sekarang ada dimana.
            “Aku harus kemana?” aku bertanya kepada foto suamiku. Layar telepon genggamku basah oleh air mata. Aku menatap jalan di hadapanku. Aku tahu harus kemana. Aku melangkahkan kakiku mantap.
            Aku menuju rumah seorang teman. Sosok yang aku kenal dengan nama Lauren. Ia seorang yang cukup religius. Tapi aku datang kepadanya bukan untuk berdebat soal ada tidaknya Tuhan. Karena untukku, dia tak ada. Titik.
            Perjalananku cukup melelahkan menuju rumah Lauren di daerah Jakarta Selatan. Sempat kesulitan, tapi akhirnya aku sampai di depan rumah Lauren.
            “Lauren!” dan dengan sekali teriak, pintu rumah terbuka dan terlihat Lauren tersenyum menyambut kedatanganku.  Rupanya dia sudah menunggu aku dari tadi.
            “Hai, Theresia! Lama tidak berjumpa. Masuk aja!”
Gerbangnya tidak terkunci. Aku langsung masuk saja ke dalam rumahnya. Suasana rumah Lauren nyaman sekali. Dan dia tinggal sendirian disini. Jadi akan tidak mengganggu kalau aku menginap agak lama.
            “Hmm, There, aku turut berduka ya untuk suamimu. Pasti berat ya buatmu menerima semua ini. Tapi kamu tenang saja, Tuhan akan memberikan kekuatan buat kamu untuk mulai lagi dari awal,” Lauren berkata dengan lembut. Namun kalimat itu menamparku keras. Aku sudah benci dengan dia yang disebut-sebut oleh mereka.
            “Kamu bicara tentang siapa?”
            “Maksudmu apa There?” Lauren kebingungan. Jelas, dia belum tahu kebencian yang tumbuh di hatiku.
            “Aku hanya benci. Benci bahwa disaat aku seterpuruk ini aku tetap harus percaya bahwa Tuhan itu ada,” aku meraih koperku, berjalan menuju kamar di lantai dua. Meninggalkan Lauren ternganga kebingungan di ruang tamu.           
            Aku merenung di kamar. Kembali menangis untuk kesekian kalinya. Sebenarnya mataku ini lelah. Apa respon Lauren besok ya? Apakah dia akan ikut membenci aku seperti ayah, ibu dan Veronica? Apakah akan terjadi perdebatan antara aku dan Lauren? Ah, sudahlah, lihat besok pagi saja. Tubuhku kelewat letih karena perjalanan hari ini. Aku merebahkan badanku dan mataku tertuju pada lukisan Tuhan yang sedang memeluk seorang anak kecil yang menangis.
            “Cih..” hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku langsung tidur, tidak memerdulikan lukisan itu.
Sudah seminggu lebih aku di rumah Lauren. Sejauh ini Lauren tidak membicarakan tentang kata-kataku waktu itu. Tapi aku sadar, dia merasa ada yang janggal. Karena sehari setelah kejadian itu, ia meletakkan sebuah Alkitab dan buku renungan di kamarku. Ah, percuma Lauren, tak akan aku sentuh. Aku meneguhkan pendirianku. Dan sebulan pun berlalu.
“There, aku sampai detik ini tidak mengerti kenapa kamu tiba-tiba datang ke rumahku. Kenapa kamu tidak pernah mau menjelaskan?”
“Nanti kamu akan tau sendiri, Ren.”
“Aku ingin tau sekarang!” nadanya meninggi. “Aku tahu kamu tidak menyentuh Alkitab dan renungan yang aku letakkan di kamarmu kan? Kenapa kamu? Bukannya kamu itu anak Tuhan yang taat, There?”
“Kamu sudah mendengar pernyataanku saat aku baru sampai disini kan? Itulah kesimpulan dari segala cerita panjang yang aku alami,” aku dengan tenang menjawabnya
“Oh, jadi ini. Jelas sekarang. Kamu mau mencoba lari dari Tuhan. Iya, There?!” nadanya kasar sekarang. Aku menghela napas.
“Mungkin. Aku lelah dengan semua ini Lauren. Kesakitan demi kesakitan aku alami tanpa ada penghiburan dari siapa itu? Tuhan?”
“Tuhan akan bertindak Theresia. Kamu hanya perlu sabar menunggu,” Lauren menghilang menuju kamarnya.
Hari-hari berlalu. Setiap bulan, Lauren dengan setia mengganti buku renungan di kamarku. Meski tak pernah aku sentuh. Besok hari ulang tahunku. Dengan keadaan seperti ini, hal sebahagia apapun akan jadi sampah buatku. Aku tidak perduli dengan segala ucapan yang terlampau cepat di kotak pesan telepon genggamku. Atau di halaman facebook dan twitterku.
“There, besok kamu ulang tahun kan? Kamu tidak mau pulang ke rumah? Orang tuamu pasti khawatir,”
“Oh kamu sudah tidak senang dengan keberadaanku disini?”
“Sejak kapan kamu jadi begitu negatif, Re? Aku hanya bertanya kan,”
“Iya, iya. Aku tidak mau pulang. Aku belum siap,” aku menjawab sekenanya. Lauren diam sejenak.
“Hmm, kalau begitu, kamu mau hadiah apa? Kalau aku mampu akan aku belikan untukmu,” nada bicaranya sudah ceria lagi. Ya, dia merubah perasaannya dengan sangat cepat.
“Tidak perlu, aku tidak mau merepotkan,”
“There, There. Tunggu saja kejutanku besok ya,”
Keesokan paginya, seperti biasa aku bangun dan langsung mandi. Keadaan rumah Lauren biasa saja. Tidak ada apa-apa. Baguslah, berarti kemarin Lauren hanya bercanda. Namun ternyata dugaanku salah. Ada kotak hadiah di kamarku. Kotak berwarna putih dengan pita warna perak. Dan bunga mawar putih di atasnya. Hatiku disergap rasa penasaran. Langsung saja aku meraih kotak itu dan membukanya.
“Hmm, mawarnya segar. Ini pasti baru dipetik. Pintar juga Lauren. Dia tahu bunga kesukaanku,” aku bergumam. Setelah kubuka kotaknya, rasa heranku muncul melihat sebuah tape recorder dengan sebuah kaset di dalamnya. Tanpa piker panjang, aku langsung menyalakan tape recorder itu.

“Selamat pagi Theresia sayang. Selamat ulang tahun untuk anak perempuan ayah dan ibu yang cantik. Ibu senang kamu masih sehat dan senang. Lauren memberitahu kami tentang keadaanmu. Theresia, Ibu sangat rindu padamu,nak. Rumah sangat sepi tanpa kamu. Kalau kamu sudah cukup tenang, pulanglah ke rumah. Kami selalu menanti kembalinya kamu. Kami sayang padamu.”
Oh, Ibu, gumamku. Lalu aku melanjutkan rekaman itu. Kali ini Veronica.
“Selamat ulang tahun kakakku tersayang. Aku harap kakak sehat-sehat saja disana. Aku senang kakak tinggal bersama Kak Lauren. Aku senang mengetahui bahwa kakak aman disana. Kak, semarah apapun ayah kepada kakak. Ia selalu menantimu pulang, Ka. Percayalah.”
Sekarang pasti ayah.
“Theresia. Anak ayah yang pertama. Yang selalu ayah banggakan. Dengarkan ini, nak. Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu dekat dengan orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya. Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu; Ia melindungi segala tulangnya, tidak satupun yang patah. TUHAN membebaskan jiwa hamba-hambaNya, dan semua orang yang berlindung padaNya tidak akan menanggung hukuman. Selamat ulang tahun, sayang. Ayah selalu menyayangimu. Pulanglah sayang, ayah menantimu.”
Air mataku menetes lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Aku terisak, aku menangis sesenggukan. Tuhan, aku ingin kembali Tuhan. Aku ingin kembali padaMu. Aku tidak sanggup tanpa Engkau, Tuhan. Aku kelelahan menangis. Sampai akhirnya hanya rasa sedih yang keluar. Aku sudah tidak mampu menangis lagi. Pintu kamarku terbuka, terlihat Lauren menyunggingkan senyum lembutnya. Ia lalu menghampiriku.
“Aku ingin pulang, Lauren,”
            Lauren tersenyum lagi, “Aku akan mengantarmu. Bereskan dulu barang-barangmu. Aku tunggu di ruang tamu.”
            20 menit kemudian aku telah siap. Untung saja tidak terlalu banyak barang yang aku bawa.
            “Ayo, Lauren. Aku sudah siap,”
            “Oke, kita berangkat.”
            Sepanjang perjalanan aku diam saja. Aku sudah rindu dengan ayahku. Dengan ibu dan Veronica. Dengan wangi mawar putih setiap pagi di halaman depan rumah.
            Sekitar 3 jam perjalanan dengan segala macet disana-sini, akhirnya aku sampai ke daerah rumahku. Setengah jam lagi aku akan sampai.
            Dan akhirnya sampai di depan rumah berwarna merah muda pucat. Aku sudah sampai.
            “Kamu langsung masuk saja ya There. Aku langsung pulang,”
            “Loh, kenapa?”
            “Tidak apa-apa. Sudah, aku pulang dulu ya There. Tuhan memberkati,” Lauren memelukku dan masuk lagi ke mobilnya. Aku buru-buru masuk ke halaman rumah. Namun ada sedikit keraguan dalam hatiku ketika aku harus membuka pintu rumah ini. Aku takut. Aku takut tidak diterima lagi.
            “Kakaaaaaaaaaaaak!!!” teriakan khas Veronica. Ia melompat dan memelukku. Aku nyaris terjatuh. Anak ini tidak juga berubah. “Akhirnya kakak pulang. Ibuuuuu, ayaaaaah, kakak pulang!!”
            Hamburan pelukan bertubi-tubi menghampiriku. Mereka sama sekali tidak terlihat membenciku. Terima kasih, Tuhan. Tanpa aku duga, mereka merapikan semua barangku. Veronica mengantarku ke kamarku yang ternyata masih rapi. Tidak berdebu, bersih. Disuruhnya aku membersihkan diri sebelum makan bersama di ruang makan
            “Aku senang kakak kembali. Aku kangen sama kakak,” Veronica tertawa  sambil menghabiskan makanannya.
            “Ibu juga bahagia. Ibu merasa luar biasa sedih saat kamu pergi There. Ibu bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya menyunggingkan senyum.
            “Ayah, aku tahu aku tidak pantas kembali..”
            “Kasih sayang Tuhan yang memantaskan kamu untuk kembali kepadaNya, Theresia. Dia yang begitu besar kasihnya kepada kita. Tidak pernah mau melukai kita. Itu hanyalah cara Tuhan menunjukkan bahwa Ia mengasihimu lebih dari apapun. Ia tidak ingin kamu beralih dariNya. Ia ingin kamu tetap percaya dan bersandar lebih dekat padaNya ketika beban berat menghimpitmu. Ia ingin mengajarkanmu tentang betapa besar kamu membutuhkanNya. Theresia, Tuhan tidak pernah menolak jika ada hambaNya yang ingin kembali. Ia tak hanya member kesempatan kedua, tapi terus hingga kamu benar-benar bersih. Ia tak pernah lelah memperbaharui imanmu yang runtuh. Ia akan menunjukkan jalanNya yang indah padamu untuk membangun kembali iman itu. Ia sungguh amat baik, Theresia. Ia Bapa yang amat baik,”
            Aku sadar, aku memang harus mengalami semua sakit ini. Aku harus mengalami masa dimana aku benar ingin menjauhi Tuhan. Untuk sebuah tujuan yang indah. Agar aku tahu, betapa berbedanya hidupku dengan dan tanpa Tuhan. Dan sekarang aku sadar. Kebencian yang aku bangun untuk keluarga dan Tuhanku waktu itu adalah hal bodoh. Apa sulitnya tetap berpegang teguh pada Tuhan? Satu-satunya sumber kekuatan dan pengharapan hidupku. Ketika aku menjauh, malah aku semakin hancur dan tak jelas mau berbuat apa. Terima kasih,Tuhan. Terima kasih, karena panggilanmu begitu jelas terdengar. Panggilan yang lembut dan dekat. Aku kembali Tuhan, aku kembali.
                       

sorry for the awful arrangement of the text. i copied it from ms.word and this is the result. i've tried to fix it but it was useless. i am too lazy to retype it right in the composing section. if anybody can tell me how to quickly fix it, just the hell, tell me. thanks lol




No comments:

Post a Comment