4.16.2011

Where Is The Spirit I Used to Have?

"Ternyata keinginan untuk menjadi penting bagi orang lain tidak cukup berhenti sampai kita telah menjadi penting. Mempertahankannya itulah yang jadi tugas
kita berikutnya"

Seperti seekor kupu-kupu yang sudah berhasil keluar dari kepompong. Awalnya dia berpikir dia harus keluar dari kantung kepompong ini. Dia harus jadi sesuatu yang
dikagumi dan dilihat banyak orang. Namun ketika ia berhasil keluar dari kepompong, ternyata ada beberapa hal besar yang jauh lebih penting ketimbang dilihat
banyak orang. Ia harus membantu pembuahan pada beberapa jenis bunga, ia harus berkembang biak untuk mempertahankan ekosistem, dan lain-lain.

Sama halnya seperti manusia. Ia lahir untuk berbagai tujuan. Ia dibentuk sebagai makhluk hidup dengan pola pikir, yang punya tujuan di hidup mereka masing-masing.
Keinginan untuk menjadi hal yang berpengaruh itulah yang ada di pikiran sebagian besar orang, termasuk saya.

Sama sekali tidak bermaksud untuk bermegah di depan kalian yang membaca. Tapi ini pengalaman, sebuah ketidak-bijaksanaan dan kegegabahan dalam melangkah.
Tidak memikirkan kapabilitas diri.

Aku ini seorang siswa di sebuah sekolah menengah atas yang memiliki posisi sebagai Ketua Umum ekstrakurikuler Marching Band Gita Flamboyan, pengurus OSIS
sekbid 8, salah satu siswa yang diberi kesempatan untuk mengikuti osn, juga sebagai siswa biasa yang punya segudang tugas, hak serta tanggung jawab sebagai murid
dan sebagai anak di rumah.

Awalnya aku dengan senang hati terjun ke hal-hal di atas. Aku pikir apa salahnya jadi siswa yang aktif di organisasi dan menjadi salah satu pihak yang berkontribusi
dalam perkembangan sekolah. Awalnya menjadi sebuah kesenangan bisa bergabung. Aku tidak berpikir bagaimana nantinya.

Untuk beberapa lama, masih belum ada rasa apa-apa. Semua masih biasa. Berjalan dengan lancar dan aku masih menikmati semuanya.

Namun, masalah muncul ketika seluruh kegiatan mulai mengalami suatu hal yang kita sebut bentrok. Seolah semuanya memberikan tugas dan harus selesai dalam waktu
yang nyaris sama. Istilahnya, waktunya mepet-mepet.

Mulai frustasi, mulai pusing. Ditambah fisik yang mulai sakit ini-itu. Kepikiran tugas, kepikiran pergaulan, kepikiran tanggung jawab di luar sekolah, dan yang paling
vital adalah kepikiran hubungan aku dengan Tuhan.

Ketika ekskul butuh perhatian, tugas-tugas sekolah juga tidak kalah minta diperhatikan. Dan di saat yang bersamaan aku masih harus melakukan rapat-rapat dan kumpul-
kumpul organisasi lain. Awalnya berusaha menikmati kesibukan yang tercipta karena keinginanku sendiri ini. Tapi semakin lama, aku merasa banyak hal-hal yang mulai
terbengkalai. Hal-hal yang dulu sangat melekat dengan keseharianku, mulai secara sadar aku tinggalkan.

Kadang aku dihadapkan dengan pilihan, ekskul atau PM? Kalau aku memilih PM maka ekskul harus aku serahkan ke orang yang aku percaya. Tapi muncul pikiran,
apakah pantas ini dilakukan? Terus-menerus meninggalkan mereka. Sampai akhirnya muncul masalah besar yang sampai sekarang belum ada solusinya.
Tugas osis yang mendesak harus diselesaikan tetap harus dipersulit dengan rapat-rapat dan tugas-tugas. Posisi-posisi yang aku ambil tanpa pikir panjang juga sering
membuat aku menyesal.

Dan yang paling parah adalah ketika aku mulai membuat diriku 'tidak punya waktu' lagi untuk Tuhan. Terlalu lelah, sakit, banyak tugas jadi alasan gegabah yang sering
keluar dari mulut aku ketika harus melakukan proses religius. Aku berani sumpah, semua itu membuat aku menyesal.
Hari Minggu yang biasanya aku pakai untuk ke gereja, berkumpul dengan teman seiman, melepaskan kefrustasian akan rutinitas sekarang hilang.
Aku tetap harus belajar untuk osn. Aku tetap harus mendampingi latihan MBGF.

Aku mulai berpikir semangatku yang dulu sudah hilang. Aku sudah menjadi orang yang cukup penting bagi sekolah dan beberapa organisasi. Aku sudah mencapai
keinginanku. Tapi kenapa aku tidak bisa mempertahankan semangat saat dulu aku menginginkan hal-hal ini?

Aku menyesal di banyak kesempatan. Aku berkali-kali berpikir ingin mundur. Ingin menjalani waktu di sekolah sebagai murid biasa yang tugasnya hanya belajar dan
mengerjakan tugas sekolah.
Aku ingin berhenti menjalani proses mengecewakan orang lain yang sudah percaya denganku.

Segala kekuatan sudah dikerahkan. Tapi tetap saja menggenggam kertas sambil membentuknya menjadi pesawat dengan satu tangan itu sulit.
Tetap pada posisi. mempertahankannya sambil mengembangkan dan tetap bertanggung jawab dengan banyak pihak itu secara tidak sadar adalah sebuah tekanan.

Aku bersyukur Tuhan selalu menerimaku kapanpun aku ingin kembali. Mendengarkan aku kapanpun aku ingin bicara dengannya.
Menangis di depanNya itu biasa. Sudah jadi kebiasaan.
Egois rasanya kalau dipikir-pikir lagi. Tapi sikap Tuhan yang seperti ini yang selalu mengingatkan aku untuk kembali.

Kembali kepada intinya, memang mempertahankan adalah hal yang jauh lebih sulit ketimbang mendapatkan.
Bukan cuma aku yang mengalami hal ini dan bukan cuma aku yang pernah merasa tertekan karena ini.

Intinya, semua tetap harus dijalakan dan ga ada kata mundur. Pilihan yang kita pilih selalu punya konsekuensi dan ganjaran. Hadapi aja sekuat yang kita bisa.

Positifnya, aku belajar banyak tentang bagaimana berpikir panjang. Aku belajar banyak tentang prioritas. Aku belajar banyak dengan apa itu hidup berdasarkan pilihan.
Semuanya saling berkorelasi, berhubungan dan berdampak besar.

Ini cuma curhat tentang tumpukan penyesalan dan pencerahan anak SMA yang sempat frustasi sama pekerjaannya.
Mungkin sedikit berlebihan bagi kebanyakan orang. Tapi tujuan aku cuma untuk menghindari menangis.
Pegel la yaauuu ini mata :p

Jadi cukup sekian dan terima kasih. Buat mereka-mereka yang mengalami hal yang sama, tetap semangat, apapun itu hadapi aja sekuat tenaga
kalo berdoa dan berusaha belum cukup untuk melegakan diri, menangis itu ga ada salahnya kok.

Cheers!