10.29.2011

...

"Senyum kalian itu semangatku. Hal yang membuatku yakin aku telah melakukan hal yang benar. Hal yang membuat aku yakin lagu ini sudah cukup indah untukku. Tapi mungkin kalian tidak pernah sadar betapa berharganya senyum kalian itu. Senyum kalian bagiku itu layaknya air dan matahari bagi tumbuhan. Baju bagi manusia, perahu bagi nelayan, ombak bagi laut, pasir bagi pantai, mahkota bagi bunga. Tanpa senyum kalian, aku kehilangan setengah semangatku."

10.27.2011

Air Mukamu

27th October 2011
07.20 a.m.
Chemistry Class - @Science Laboratorium

PM : Valent, sini kamu sini

G : Saya? Kenapa, Pak?

PM : Sini dulu

jalan ke meja guru lab. kimia

PM : Kamu lagi ada masalah ga sih?

G : *bingung setengah mati* Ha? Ga ada, Pak? Kenapa?

PM : Bener kamu ga ada masalah? Di sekolah? Di rumah?

G : Engga, beneran deh Pak. Biasa aja kok

PM : Kamu ke gereja ga sih?

G : Iyalah Pak, setiap minggu.

PM : Selain hari minggu?

G : Oh, iya sih Pak kadang kadang kalo lagi latihan sama temen gereja. Kenapa, Pak?

PM : Kamu bener ga ada masalah? Tiap hari bapak liatin kamu kayaknya bengong, diem, kayak lagi ada masalah berat gitu. Wajah kamu itu kayak lagi ada pikiran apaaa gitu. Tiba-tiba diem. Bener ga ada masalah?

G : *pengen nangis* Engga ada kok, Pak. Hehehe
*nyengir trus melengos lagi ke meja praktikum*


Segitu terlihat berbeban beratkah wajah saya tiap hari, Pak?
Yah kalaupun begitu, makasih ya Pak udah perhatian. 

10.22.2011

Boyfriend Tag ;)

1. What’s his name?
Lourenchyus Alfredo
2. How long have you been dating?
9 months 23 days
3. Can you tell him anything?
Yes
4. What’s his favorite color?
red black white
5. When is his birthday?
3rd of September
6. How old will he be turning?
20 on 2012
7. How much do you see each other?
once a week or maybe twice a week if we're lucky. LOL we are pretty bussy with our work :)
8. On a scale of 1-10, How much do you like him?
11 :*
9. Do you love him?
YES I DO!
10. What’s his full name, first/middle/last.
Lourenchyus Alfredo Bawotong
11. Have you ever been to the movies with him?
Yeah I have, but a couple hours before we're intacted :p
12. What movie did you see?
Gulliver's Travel
13. Name a memory you shared with him?
my 17th birthday, his 19th birthday, our first Valentine Day, sundays at church, etc
14. Have you met his parents?
Yes I have :)
15. Has he met your parents?
Yes He has
16. How many siblings does he have?
1, a sister
17. Have you kissed him in the rain?
errr, no
18. Can he make you in the best mood EVER?
Always :)
19. What’s his moms name?
Mrs. Marni :)
20. Is he funny?
Most of the time
21. Name his favorite quote?
I never know if he pays attention on quotes. But yes on bible words :)
22. What is his favorite thing to do?
playing soccer, watching videos on you tube, painting
23. Does he have any pets?
Yes, cats, A LOT
24. What does he want to name his kids, when he’s older?
I don't know
25. Someone hits you, What does he do?
he protects me, not caring about the one who hit me, he pays attention on me :)
26. Do you hold hands often?
when we're together, yes
27. Does he cuss?
no
28. Does he have a job?
he's a college student, but if you still asking about his job I can say he's a bassist
29. Do you hug him alot?
He hugs me 
30. Does your family like him
Yes :)

10.17.2011

A Poem From A Best Friend

Little Prayer to Cookie

I got this little cookie, creamy sweet, soft and chewy
A beautiful cookie sprinkled with chocolate and cherry
Smells so good, mouthwatering, damn tempting
A kind of cookie I'll keep carefully in a jar made of ruby

A beautiful cookie, in a form of a besties
A best friend which name begins with letter "V"
Gonna keep our friendship 'till the end of my history
I'll encourage you always, my sweet fruitful cookie

In our friendship, I feel like living in  a house on a prairie
Wind blowing, humid grass, popping cherry tree
Every freshness, every happiness, anger and even feels of fury
Popping out like oranges in tree
Waving like palm trees before the sea

And there's still my greatest cookie, tempting on me
May my cookie always be crunchy and fruity
Be always strong and happy
Be always lovely and cherry


I'm going to make this clear. Who is cookie? What is V? 
First, this very marvelous poem was made by my bestfriend Levi Dhaifani
I call her apple pie and she calls me cookie :)
One day I told her about my problem. Which is kinda hard for me to face
And then the next day, she kindly showed this very sweet poem that was obviouly made for me
And this poem supports me much. Thanks a lot apple pie :))

10.14.2011

Bekasi Jazz Festival 2011 (Sat 08102011)

The show was over all okay. Endah n Rhesa made the most outstanding performance that night. But what I regret was MYMP. It was kinda bit disappointing with their new vocalist. No offense, but they sound better with Nina Girado and Juris Fernandez. Too bad both of them decided to have an exit from this sweet band. In other topic, we took photo with LOGIC. And that damn cool bassist and saxophonist *kiss. Barry Likumahuwa Project closed the night in a very chill way. Oya, there were Ermy Kulit, Yovie Widianto Fusion and Ten2Five too. But I didn't exactly watch Ten2Five's performance. Because I was keeping my precious front row for MYMP at stage B. Yes, they have 2 stages which was located oppositely. And once done on stage A, the people will move to stage B for next performance. So we are very able to watch all shows.
"I am so proud that I once sang your song at FX for a small evening jazz event, Ermy Kulit"
STUNNING STUNNING STUNNING!
LOGIC's bassist. 
Juliet Bahala, MYMP's new vocalist. Since 2010
Chin Alcantara, MYMP's former and everlasting guitarist :)
with LOGIC. and they were tall as fffffff...
"...party people!! yeaaaaaah!.."

10.13.2011

Faith - 2


“Kamu berdoa saja, Veronica. Jika kakak tidak kembali, setidaknya ia menemukan apa yang ia cari di luar sana,”
            “Ia tidak akan menemukan apa-apa yah. Yang kakak mau hanya persetujuan dari kita bahwa Tuhan tidak ada. Itu saja,” aku menjawab sambil menikmati sarapanku. Sebenernya aku tidak berselera sama sekali. Apalagi ayah juga tidak menyentuh sarapan yang aku siapkan untuknya. “Aku hanya ingin kakak tahu, bahwa Tuhan tetap mengasihinya apapun yang terjadi dan menimpa dirinya. Dia perlu menyadari itu,”
            Ayah membisu. Ia bahkan tidak menatapku.
***
            Aku tidak senang dengan ketidaksetujuan ayah. Jelas dia bisa berkata begitu. Dia kan tidak merasakan apa yang aku rasakan. Dasar orang tua tidak tahu diri. Memangnya harus dia yang selalu benar. Aku merogoh saku celanaku, mengambil telepon genggam hadiah dari suamiku. Di layarnya terlihat fotoku dan dia. Aku meneteskan air mata di tengah keramaian pinggir jalan Jakarta. Yah, aku sebenarnya tidak tahu mau menuju kemana. Aku saja tidak tahu aku sekarang ada dimana.
            “Aku harus kemana?” aku bertanya kepada foto suamiku. Layar telepon genggamku basah oleh air mata. Aku menatap jalan di hadapanku. Aku tahu harus kemana. Aku melangkahkan kakiku mantap.
            Aku menuju rumah seorang teman. Sosok yang aku kenal dengan nama Lauren. Ia seorang yang cukup religius. Tapi aku datang kepadanya bukan untuk berdebat soal ada tidaknya Tuhan. Karena untukku, dia tak ada. Titik.
            Perjalananku cukup melelahkan menuju rumah Lauren di daerah Jakarta Selatan. Sempat kesulitan, tapi akhirnya aku sampai di depan rumah Lauren.
            “Lauren!” dan dengan sekali teriak, pintu rumah terbuka dan terlihat Lauren tersenyum menyambut kedatanganku.  Rupanya dia sudah menunggu aku dari tadi.
            “Hai, Theresia! Lama tidak berjumpa. Masuk aja!”
Gerbangnya tidak terkunci. Aku langsung masuk saja ke dalam rumahnya. Suasana rumah Lauren nyaman sekali. Dan dia tinggal sendirian disini. Jadi akan tidak mengganggu kalau aku menginap agak lama.
            “Hmm, There, aku turut berduka ya untuk suamimu. Pasti berat ya buatmu menerima semua ini. Tapi kamu tenang saja, Tuhan akan memberikan kekuatan buat kamu untuk mulai lagi dari awal,” Lauren berkata dengan lembut. Namun kalimat itu menamparku keras. Aku sudah benci dengan dia yang disebut-sebut oleh mereka.
            “Kamu bicara tentang siapa?”
            “Maksudmu apa There?” Lauren kebingungan. Jelas, dia belum tahu kebencian yang tumbuh di hatiku.
            “Aku hanya benci. Benci bahwa disaat aku seterpuruk ini aku tetap harus percaya bahwa Tuhan itu ada,” aku meraih koperku, berjalan menuju kamar di lantai dua. Meninggalkan Lauren ternganga kebingungan di ruang tamu.           
            Aku merenung di kamar. Kembali menangis untuk kesekian kalinya. Sebenarnya mataku ini lelah. Apa respon Lauren besok ya? Apakah dia akan ikut membenci aku seperti ayah, ibu dan Veronica? Apakah akan terjadi perdebatan antara aku dan Lauren? Ah, sudahlah, lihat besok pagi saja. Tubuhku kelewat letih karena perjalanan hari ini. Aku merebahkan badanku dan mataku tertuju pada lukisan Tuhan yang sedang memeluk seorang anak kecil yang menangis.
            “Cih..” hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku langsung tidur, tidak memerdulikan lukisan itu.
Sudah seminggu lebih aku di rumah Lauren. Sejauh ini Lauren tidak membicarakan tentang kata-kataku waktu itu. Tapi aku sadar, dia merasa ada yang janggal. Karena sehari setelah kejadian itu, ia meletakkan sebuah Alkitab dan buku renungan di kamarku. Ah, percuma Lauren, tak akan aku sentuh. Aku meneguhkan pendirianku. Dan sebulan pun berlalu.
“There, aku sampai detik ini tidak mengerti kenapa kamu tiba-tiba datang ke rumahku. Kenapa kamu tidak pernah mau menjelaskan?”
“Nanti kamu akan tau sendiri, Ren.”
“Aku ingin tau sekarang!” nadanya meninggi. “Aku tahu kamu tidak menyentuh Alkitab dan renungan yang aku letakkan di kamarmu kan? Kenapa kamu? Bukannya kamu itu anak Tuhan yang taat, There?”
“Kamu sudah mendengar pernyataanku saat aku baru sampai disini kan? Itulah kesimpulan dari segala cerita panjang yang aku alami,” aku dengan tenang menjawabnya
“Oh, jadi ini. Jelas sekarang. Kamu mau mencoba lari dari Tuhan. Iya, There?!” nadanya kasar sekarang. Aku menghela napas.
“Mungkin. Aku lelah dengan semua ini Lauren. Kesakitan demi kesakitan aku alami tanpa ada penghiburan dari siapa itu? Tuhan?”
“Tuhan akan bertindak Theresia. Kamu hanya perlu sabar menunggu,” Lauren menghilang menuju kamarnya.
Hari-hari berlalu. Setiap bulan, Lauren dengan setia mengganti buku renungan di kamarku. Meski tak pernah aku sentuh. Besok hari ulang tahunku. Dengan keadaan seperti ini, hal sebahagia apapun akan jadi sampah buatku. Aku tidak perduli dengan segala ucapan yang terlampau cepat di kotak pesan telepon genggamku. Atau di halaman facebook dan twitterku.
“There, besok kamu ulang tahun kan? Kamu tidak mau pulang ke rumah? Orang tuamu pasti khawatir,”
“Oh kamu sudah tidak senang dengan keberadaanku disini?”
“Sejak kapan kamu jadi begitu negatif, Re? Aku hanya bertanya kan,”
“Iya, iya. Aku tidak mau pulang. Aku belum siap,” aku menjawab sekenanya. Lauren diam sejenak.
“Hmm, kalau begitu, kamu mau hadiah apa? Kalau aku mampu akan aku belikan untukmu,” nada bicaranya sudah ceria lagi. Ya, dia merubah perasaannya dengan sangat cepat.
“Tidak perlu, aku tidak mau merepotkan,”
“There, There. Tunggu saja kejutanku besok ya,”
Keesokan paginya, seperti biasa aku bangun dan langsung mandi. Keadaan rumah Lauren biasa saja. Tidak ada apa-apa. Baguslah, berarti kemarin Lauren hanya bercanda. Namun ternyata dugaanku salah. Ada kotak hadiah di kamarku. Kotak berwarna putih dengan pita warna perak. Dan bunga mawar putih di atasnya. Hatiku disergap rasa penasaran. Langsung saja aku meraih kotak itu dan membukanya.
“Hmm, mawarnya segar. Ini pasti baru dipetik. Pintar juga Lauren. Dia tahu bunga kesukaanku,” aku bergumam. Setelah kubuka kotaknya, rasa heranku muncul melihat sebuah tape recorder dengan sebuah kaset di dalamnya. Tanpa piker panjang, aku langsung menyalakan tape recorder itu.

“Selamat pagi Theresia sayang. Selamat ulang tahun untuk anak perempuan ayah dan ibu yang cantik. Ibu senang kamu masih sehat dan senang. Lauren memberitahu kami tentang keadaanmu. Theresia, Ibu sangat rindu padamu,nak. Rumah sangat sepi tanpa kamu. Kalau kamu sudah cukup tenang, pulanglah ke rumah. Kami selalu menanti kembalinya kamu. Kami sayang padamu.”
Oh, Ibu, gumamku. Lalu aku melanjutkan rekaman itu. Kali ini Veronica.
“Selamat ulang tahun kakakku tersayang. Aku harap kakak sehat-sehat saja disana. Aku senang kakak tinggal bersama Kak Lauren. Aku senang mengetahui bahwa kakak aman disana. Kak, semarah apapun ayah kepada kakak. Ia selalu menantimu pulang, Ka. Percayalah.”
Sekarang pasti ayah.
“Theresia. Anak ayah yang pertama. Yang selalu ayah banggakan. Dengarkan ini, nak. Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu dekat dengan orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya. Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu; Ia melindungi segala tulangnya, tidak satupun yang patah. TUHAN membebaskan jiwa hamba-hambaNya, dan semua orang yang berlindung padaNya tidak akan menanggung hukuman. Selamat ulang tahun, sayang. Ayah selalu menyayangimu. Pulanglah sayang, ayah menantimu.”
Air mataku menetes lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Aku terisak, aku menangis sesenggukan. Tuhan, aku ingin kembali Tuhan. Aku ingin kembali padaMu. Aku tidak sanggup tanpa Engkau, Tuhan. Aku kelelahan menangis. Sampai akhirnya hanya rasa sedih yang keluar. Aku sudah tidak mampu menangis lagi. Pintu kamarku terbuka, terlihat Lauren menyunggingkan senyum lembutnya. Ia lalu menghampiriku.
“Aku ingin pulang, Lauren,”
            Lauren tersenyum lagi, “Aku akan mengantarmu. Bereskan dulu barang-barangmu. Aku tunggu di ruang tamu.”
            20 menit kemudian aku telah siap. Untung saja tidak terlalu banyak barang yang aku bawa.
            “Ayo, Lauren. Aku sudah siap,”
            “Oke, kita berangkat.”
            Sepanjang perjalanan aku diam saja. Aku sudah rindu dengan ayahku. Dengan ibu dan Veronica. Dengan wangi mawar putih setiap pagi di halaman depan rumah.
            Sekitar 3 jam perjalanan dengan segala macet disana-sini, akhirnya aku sampai ke daerah rumahku. Setengah jam lagi aku akan sampai.
            Dan akhirnya sampai di depan rumah berwarna merah muda pucat. Aku sudah sampai.
            “Kamu langsung masuk saja ya There. Aku langsung pulang,”
            “Loh, kenapa?”
            “Tidak apa-apa. Sudah, aku pulang dulu ya There. Tuhan memberkati,” Lauren memelukku dan masuk lagi ke mobilnya. Aku buru-buru masuk ke halaman rumah. Namun ada sedikit keraguan dalam hatiku ketika aku harus membuka pintu rumah ini. Aku takut. Aku takut tidak diterima lagi.
            “Kakaaaaaaaaaaaak!!!” teriakan khas Veronica. Ia melompat dan memelukku. Aku nyaris terjatuh. Anak ini tidak juga berubah. “Akhirnya kakak pulang. Ibuuuuu, ayaaaaah, kakak pulang!!”
            Hamburan pelukan bertubi-tubi menghampiriku. Mereka sama sekali tidak terlihat membenciku. Terima kasih, Tuhan. Tanpa aku duga, mereka merapikan semua barangku. Veronica mengantarku ke kamarku yang ternyata masih rapi. Tidak berdebu, bersih. Disuruhnya aku membersihkan diri sebelum makan bersama di ruang makan
            “Aku senang kakak kembali. Aku kangen sama kakak,” Veronica tertawa  sambil menghabiskan makanannya.
            “Ibu juga bahagia. Ibu merasa luar biasa sedih saat kamu pergi There. Ibu bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya menyunggingkan senyum.
            “Ayah, aku tahu aku tidak pantas kembali..”
            “Kasih sayang Tuhan yang memantaskan kamu untuk kembali kepadaNya, Theresia. Dia yang begitu besar kasihnya kepada kita. Tidak pernah mau melukai kita. Itu hanyalah cara Tuhan menunjukkan bahwa Ia mengasihimu lebih dari apapun. Ia tidak ingin kamu beralih dariNya. Ia ingin kamu tetap percaya dan bersandar lebih dekat padaNya ketika beban berat menghimpitmu. Ia ingin mengajarkanmu tentang betapa besar kamu membutuhkanNya. Theresia, Tuhan tidak pernah menolak jika ada hambaNya yang ingin kembali. Ia tak hanya member kesempatan kedua, tapi terus hingga kamu benar-benar bersih. Ia tak pernah lelah memperbaharui imanmu yang runtuh. Ia akan menunjukkan jalanNya yang indah padamu untuk membangun kembali iman itu. Ia sungguh amat baik, Theresia. Ia Bapa yang amat baik,”
            Aku sadar, aku memang harus mengalami semua sakit ini. Aku harus mengalami masa dimana aku benar ingin menjauhi Tuhan. Untuk sebuah tujuan yang indah. Agar aku tahu, betapa berbedanya hidupku dengan dan tanpa Tuhan. Dan sekarang aku sadar. Kebencian yang aku bangun untuk keluarga dan Tuhanku waktu itu adalah hal bodoh. Apa sulitnya tetap berpegang teguh pada Tuhan? Satu-satunya sumber kekuatan dan pengharapan hidupku. Ketika aku menjauh, malah aku semakin hancur dan tak jelas mau berbuat apa. Terima kasih,Tuhan. Terima kasih, karena panggilanmu begitu jelas terdengar. Panggilan yang lembut dan dekat. Aku kembali Tuhan, aku kembali.
                       

sorry for the awful arrangement of the text. i copied it from ms.word and this is the result. i've tried to fix it but it was useless. i am too lazy to retype it right in the composing section. if anybody can tell me how to quickly fix it, just the hell, tell me. thanks lol




10.04.2011

Faith - 1


           Tak kunjung sampai pemahamanku meraih cara pikir kakak perempuanku ini. Entah apa yang ada di pikirannya sampai Ia berani menyangkal kepercayaannya sendiri. Ia begitu menolak kata-kata ayah dan ibu yang sudah berusaha meyakinkannya untuk tetap berada di jalan yang benar.
            Aku dan kakakku tumbuh dengan pemahaman Kristen. Ayah dan ibu lahir dari keluarga Kristen Protestan yang taat. Kami sudah mengenal Tuhan sejak kami kecil. Orang tua kami rajin mengantar kami ke Sekolah Minggu setiap akhir pekan, agar kami dapat lebih dalam mengenal Tuhan. Sampai akhirnya kami dewasa dan mengaktifkan diri di kegiatan-kegiatan gerejawi.
            Namun, kejadian yang menimpa kakak setahun belakangan ini sepertinya berhasil meruntuhkan imannya. Bertubi-tubi rasa sakit dan luka menghampirinya. Dimulai ketika Ia harus di PHK karena kantor tempat Ia bekerja mengalami kebangkrutan. Diikuti dengan gugurnya kandungan kakak. Ia amat sangat terpukul dengan hal ini. Dan terakhir, suami kakak meninggal pada kecelakaan pesawat 2 minggu yang lalu.
            “Mana Tuhan?! Dimana Dia saat aku kini terpuruk?!!,” kakak berteriak penuh emosi. Air matanya jatuh tanpa henti. “Aku tak mengerti mengapa setelah sekian kejadian yang menimpaku, aku tetap harus percaya bahwa Dia ada?.”
            “Theresia!! Jaga bicaramu itu. Sudah berapa kali ayah bilang. Tuhan punya rencana yang indah dibalik semua ini. Kamu harus yakin akan hal itu,” Ayah menahan emosinya yang sedari tadi meluap-luap.
            “Rencana indah macam apa yang mau tuhan itu buat, Yah!?,” bicaranya tersendat oleh isak tangis. “Aku kehilangan segalanya, Ayah. Untuk apa lagi aku percaya!”
            Aku memandang wajah kakak, memerah dan terlihat ia sangat terluka dengan semua kejadian yang menimpanya. Kudengar sesekali isak tangisnya yang tak kunjung henti. Sedih memang, tapi aku merasa kakak terlalu berlebihan.
            “Kak..” Aku memberanikan diri untuk berbicara. Kakak menoleh ke arahku. “Aku mengerti ini suatu pukulan yang keras buat kakak. Tapi satu hal yang harus kakak tahu, Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tak mampu kakak hadapi. Ayah benar, Tuhan punya rencana yang luar biasa indah untuk kakak. Kakak pasti menyangkalnya, karena kakak melihat semua ini dari sudut pandang kakak. Tapi, Kak, cara Tuhan berbeda dengan cara kita. Tuhan memandang dari sisi yang berbeda. Yang tak akan mampu dimengerti oleh manusia. Tak akan terjawab oleh pertanyaan, mengapa?” Aku melihat Ibu mengangguk sambil merangkul kakak. Berusaha menenangkannya.
            “Aku sudah tidak peduli lagi pada apa yang kalian katakan. Kalian semua penipu! Aku mau keluar dari rumah ini!” Kami semua terkejut mendengar keputusan kakak. Memang semenjak kakak ditinggal oleh suaminya, kami mengajak kakak kembali lagi ke rumah keluarga. Mendengar keinginan kakak yang sembrono itu Ayah marah besar.
            “Oh begitu. Jadi kamu mau keluar?! Silahkan! Keluar kamu dari rumah ini. Cari apa yang kamu mau temukan. Ayah tidak peduli lagi!” emosi Ayah sudah mencapai puncaknya. Ayah beranjak dari sofa ruang keluarga, menuju kamarnya. Terdengar bantingan pintu yang keras. Ayah sudah terlalu sabar menghadapi kakak.
            “Baik! There keluar dari rumah malam ini juga!,” kakak berteriak menghadapkan wajahnya ke lantai atas. Seolah menjawab makian Ayah tadi.
            “There, apa yang kamu katakan, Nak. Kamu tidak boleh keluar dari rumah ini!” Ibu berusaha menahan kakak. Tapi tekadnya sudah kuat. Ia bergegas menuju kamarnya dan mengemas baju seadanya. Langsung menghambur ke luar rumah.
            “Sudahlah,Bu. Tidak perlu berpura-pura sedih aku pergi dari rumah ini. Aku sudah muak melihat sandiwara ibu selama ini. Aku tahu aku tak pernah berharga kan buat Ibu?!” Kakak membentak Ibu. Dan hal ini yang membuat emosiku memuncak. Ayah dan Ibu sangat sayang kepada Kakak. Tapi mengapa kakak begitu mengeraskan hatinya?
            “Cukup!” teriakanku menghentikan tangis ibu sejenak. Kakak cukup kaget. Aku belum pernah berkata dengan nada setinggi ini. “Aku sudah tidak kuat lagi melihat tingkah kakak yang semena-mena. Tidak tahu sopan santun. Menuduh kami penipu dan bertingkah seolah kakak muak terhadap kami. Asal kakak tahu, kami yang muak terhadap tingkah kakak selama ini. Berkeras hati dan memaki kami setiap hari. Jika kakak benar ingin keluar, keluar saja sana. Aku tidak sudi punya kakak seperti kamu!” segera setelah aku menyelesaikan perkataanku, kutarik lengan Ibu, memaksanya masuk ke dalam rumah. Aku tak terima ayah dan ibuku diperlakukan seperti itu. Kakak macam apa dia?
            Aku menenangkan Ibu dan menyuruhnya masuk kamar. Aku pun kembali ke kamarku. Berlari ke arah jendela. Aku ingin tahu apakah kakak benar-benar pergi. Tirai jendela warna hijau lembayung itu ku singkap sedikit. Kakak sudah memulai langkahnya untuk pergi dari rumah ini. Kupandangi dia sampai akhirnya tikungan di ujung gang menghalangi sepasang bola mataku untuk menyaksikan kepergiannya. Tidak terasa, mata dan pipiku basah. Aku sangat menyayanginya. Theresia, begitu orang-orang rumah ini memanggil namanya. Aku sungguh menyesal telah ikut mendukung kepergian kakak. Tapi di sisi lain aku tak kuat kalau harus mendengar argumen Kakak dengan Ayah. Tapi aku yakin, suatu saat kakak akan kembali dengan hati yang sudah Tuhan lembutkan.
            Pagi ini, rumah tenang. Tidak seperti biasa ketika kakak masih tinggal disini. Aku merasakan kembali ketenangan yang beberapa hari lalu sempat terenggut. Namun, setelah aku telaah lebih jauh. Ini bukan ketenangan. Ini kesedihan. Ayah sepertinya sama menyesalnya dengan aku, atau mungkin Ia jauh lebih menyesal. Ibu masih di kamar. Kata Ayah, Ia masih tidak sanggup menerima kenyataan kakak pergi dari rumah. Ia menyesal tidak menahan kakak sekuat tenaganya supaya kakak tidak pergi. Seisi rumah berlumuran dengan berjuta penyesalan tiada akhir.